Jumat, 12 November 2010

Situs amuk Hantarukung (Makam Tumpang Talu)

Amuk Hantarukung salah satu momen sejarah yang mengingatkan warga Kalsel terutama Hulu Sungai Selatan Kandangan, tentang kegigihan perjuangan rakyat setempat yang dimotori Bukhari dan kawan-kawan melawan penjajah Belanda.
Semangat Amuk Hantarukung dalas batapung tali salawar dalas balangsar dada tak mau dijajah ini.
Situs amuk Hantarukung (Makam Tumpang Talu)
SEJARAH AMUK HANTARUKUNG
Bukhari dari Hantarukung (lahir : 1850 di Hantarukung, Simpur, Hulu Sungai Selatan, wafat : 19 September 1899 di Hantarukung, Simpur, Hulu Sungai Selatan). Bukhari adalah salah seorang pejuang Perang Banjar yang memimpin perlawanan rakyat yang disebut Amuk Hantarukung yang terjadi di masa Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari. Ayah Bukhari bernama Manggir dan ibu bernama Bariah kelahiran desa Hantarukung, dalam wilayah Kecamatan Simpur, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Bukhari dilahirkan sekitar tahun 1850 dan semasa mudanya mengembara ke Puruk Cahu (Murung Raya, Kalimantan Tengah) mengikuti pamannya Kasim yang menjadi panakawan (asisten) dari Sultan Muhammad Seman. Sejak itu Sultan Muhammad Seman menjadikan Bukhari sebagai panakawan (asisten) Sultan, dan Bukhari ikut berjuang di daerah Puruk Cahu, Kalimantan Tengah.
Bukhari seorang yang setia mengabdikan dirinya. Ia orang yang dipercaya sebagai Pemayung Sultan. Ia dikenal di kalangan istana sebagai seorang yang mempunyai ilmu kesaktian dan kekebalan. Bahkan tersiar
berita bahwa dengan ilmunya itu kalau ia tewas dapat hidup kembali. Ilmu ini diajarkan kepada siapa yang menjadi pendukungnya. Adanya kelebihan-kelebihan Bukhari tersebut, menyebabkan dia dan adiknya bernama Santar mendapat tugas untuk menyusun dan memperkuat barisan perlawanan rakyat terhadap Belanda di daerah Banua Lima, Kalimantan Selatan.
Menyusun Kekuatan Rakyat.
Dengan membawa surat resmi dari Sultan Muhammad Seman, Bukhari dan adiknya Santar datang ke desa Hantarukung untuk menyusun suatu pemberontakan rakyat terhadap pemerintah Belanda. Kedatangan Bukhari diterima hangat oleh penduduk desa Hantarukung. Dengan bantuan Pangerak Yuya, Bukhari berhasil mengorganisir kekuatan rakyat untuk melawan Belanda. Sebanyak 25 orang penduduk telah menyatakan diri sebagai pengikutnya, dan di bawah pimpinan Bukhari dan Santar siap untuk melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda. Gerakan Bukhari ini bahkan kemudian mendapat dukungan selain penduduk Hantarukung, juga penduduk kampung Hamparaya dan Ulin. Sehubungan dengan itu alasan perlawanan yang dikemukakan bahwa penduduk dari tiga kampung itu tidak bersedia lagi melakukan kerja rodi . Sikap penduduk dan tindakan Pangerak Yuya yang tidak mau menurunkan kuli (penduduk) untuk menggali garis antara Amandit-Negara tersebut, kemudian dilaporkan oleh Pambakal Imat kepada Kiai (gelar kepala distrik), karena yang bersangkutan sedang tidak ada di tempat, Pambakal melaporkan kepada Controleur Belanda di kota Kandangan.
Perlawanan Rakyat 18 September 1899
Penguasa Belanda di Kandangan sangat marah mendengar berita itu pada tanggal 18 September 1899 berangkatlah rombongan penguasa Belanda yang terdiri dari Controleur Adsenarpont Domes dan Adspirant K. Wehonleschen beserta 5 orang Indonesia (opas dan pambakal) yang setia kepada Belanda. Dengan menaiki kereta kuda dan diikuti yang lainnya Controleur Adsenerpont Domes ke desa Hantarukung menemui Pangerak Yuya. Pangerak yang telah bekerja sama dengan Bukhari untuk melawan pemerintah Belanda ini ketika dipanggil oleh Controleur keluar dari rumahnya dengan tombak dan parang tanpa sarung. Setelah terjadi tanya jawab mengenai mengapa penduduk tidak mengerjakan lagi gerakan menggali garis Amandit-Negara, tiba-tiba muncul ratusan penduduk di bawah pimpinan Bukhari dan Santar sambil mengucapkan shalawat nabi maju ke arah Controleur dengan senjata tombak, serapang (trisula) dan lain-lainnya.
Dalam peristiwa itu telah terbunuh tuan Controleur Domes dan Adspirant Wehonleshen serta seorang anak emasnya. Sementara 4 orang lainnya dapat melarikan diri. Mereka itu antara lain opas Dalau dan Kiai Negara (kepala Distrik Negara). Peristiwa tanggal 18 September 1899 ini terkenal dengan Pemberontakan Amuk Hantarukung yang dipelopori oleh Bukhari, seorang yang secara resmi diperintahkan oleh Sultan Muhammad Seman dengan mengirimkan ke desa asal kelahirannya Hantarukung.
Perlawanan Rakyat 19 September 1899.
Peristiwa 18 September 1899 dengan terbunuhnya Controleur dan Adspirant Belanda segera sampai kepada pejabat-pejabat Belanda di kota Kandangan. Kemarahan pihak Belanda tidak dapat terbendung lagi. Besok harinya pada hari Senin tanggal 19 September 1899 sekitar pukul 13.00 siang hari pasukan Belanda datang untuk mengadakan pembalasan terhadap penduduk. Serangan pembalasan tersebut dipimpin oleh Kiai Jamjam putera daerah sendiri, dengan diperkuat oleh 2 Kompi serdadu Belanda bersenjata lengkap. Penduduk desa Hantarukung telah menyadari pula peristiwa yang akan terjadi. Beratus-ratus penduduk di bawah pimpinan Bukhari, Santar dan Pengerak Yuya siap dengan senjata mereka di pinggiran hutan dan keliling danau menanti kedatangan pasukan Belanda. Ketika sampai di desa Hantarukung di suatu awang persawahan, melihat keadaan sepi, Kapten Belanda melepaskan tembakan peringatan agar penduduk menyerah. Pada waktu itulah Bukhari bersama-sama Haji Matamin dan Landuk tampil dengan senjata terhunus maju menyerbu musuh sambil mengucapkan Allahu Akbar berulang-ulang. Tindakan Bukhari tersebut diikuti para pengikutnya yang sudah siap untuk berperang, pertempuran sengit terjadi. Bukhari, Haji Matamin dan Landuk dan Pengerak Yuya gugur di tembus peluru Belanda. Melihat pemimpin-pemimpin mereka terbunuh penduduk lari menyelamatkan diri. Dalam peristiwa 2 hari di Hantarukung tersebut telah terbunuh masing-masing di pihak Belanda adalah Controleur Domes, Adspirant Wehonleschen dan seorang pembantunya. Sementara dari pihak penduduk telah gugur : Bukhari, Haji Matamin, Landuk, Pangerak Yuya.
Penangkapan Penduduk oleh Belanda
Peristiwa ini berlanjut dengan terjadinya pembersihan secara kejam oleh Belanda terhadap penduduk yang terlibat terutama penduduk di desa Hantarukung, Hamparaya, Ulin, Wasah Hilir dan Simpur. Penangkapan segera dijalankan oleh militer Belanda. Mereka yang ditangkapi tersebut berjumlah 23 orang yakni : Hala, Hair, Bain, Idir, Sahintul, H. Sanadin, Fakih, Unin, Mayasin, Atma, Alas, Tanang, Tasin, Bulat, Sudin, Matasin, Yasin, Usin, Sahinin, Unan, Saal, Lasan dan Atmin. Selanjutnya yang mati di dalam penjara adalah : Hala, Hair, Bain, dan Idir. Sedangkan yang mati digantung adalah : Sahitul, H. Sanaddin, Fakih, Unin, Mayasin, Atma, Alas, Tanang dan Tasin. Mereka yang dibuang keluar daerah adalah: Bulat, Suddin, Matasin, Yasin, Sahinin, Unan, Saal, Lasan, Atnin, dan Santar. Jenazah Bukhari, Landuk dan Matamin dimakamkan di Kampung Perincahan, Kecamatan Kandangan, Hulu Sungai Selatan yang dikenal dengan makam Tumpang Talu. Sedangkan sembilan orang dihukum gantung oleh Belanda tersebut dimakamkan di kuburan Bawah Tandui di Kampung Hantarukung di Kecamatan Simpur, Hulu Sungai Selatan.
Rumah bersejarah Durian Rabung
Rumah bersejarah ini terletak di desa Durian Rabung Kecamatan Padang Batung, berjarak sekitar 8 Km dari kota Kandangan. Rumah ini milik H.Abdul Kadir (Kai Jabus) yang digunakan sebagai tempat Rapat Pimpinan Markas Besar ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan. Kadang-kadang Bapak Gerilya Kalimantan Brigjen H. Hassan Basry beristirahat di rumah ini.
Rumah bersejarah Durian Rabung
Kondisi rumah besejarah ini sukup memprihatinkan dan secara bertahap telah direnovasi baik oleh Pemda Hulu Sungai Selatan maupun Pemda Propinsi Kalimantan Selatan tanpa merubah bentuk dantata ruang. Di halaman bagian depan rumah bersejarah ini telah dibangun Tugu Peringatan peristiwa Rapat Pimpinan markas Besar ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan.
Benteng Madang
Jika anda jalan-jalan ke kecamatan Padang Batung sebalah utara akan bertemu dengan sebuah desa yang bernama Madang dengan dataran cukup tinggi menyerupai sebuah gunung. Dataran tinggi tersebut kemudian di tata dan dibuat oleh Tumenggung Antaluddin atas permintaan dari Pangeran Hidayatullah dan Demang Lehman kemudian dijadikan benteng pertahanan pasukan Pangeran Hidayatullah dan Demang Lehman dalam menghadapi serangan serdadu Belanda.
Tercatat ada lima kali serangan yang dilakukan oleh serdadu belanda dan semuanya dapat dikalahkan oleh pasukan Pangeran Hadayatullah dan Demang Lehman. Serangan-serangan serdadu Belanda dilakukan pada tanggal 3,4,13,18 dan 22 september 1860. Pada serangan yang keempat tanggal 18 September 1860, pasukan infantry serdadu bgelanda yang dipimpin oleh Kapten Koch dihajar habis-habisan oleh pasukan Pangeran Hidayatullah dan Demang lehman, sehingga banyak serdadu Belanda yang tewas termasuk Kapten Koch.
Benteng Madang
Saat ini Benteng Madang telah ditata dan direnovasi oleh Pemda HSS dengan anak tangga lebih dari 400 buah dan dapat dijelajahi dengan menggunakan mobil dengan jarak ± 8 Km dari Kota Kandangan.
Riwayat Benteng Madang
Tumenggung Antaluddin adalah seorang panglima perang dalam Perang Banjar dengan pusat perjuangan di kawasan Gunung Madang di kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.
Pada masa itu Pangeran Hidayatullah dan Demang Lehman meminta kepada Tumenggung Antaluddin untuk membuat benteng pertahanan di Gunung Madang. Pasukan Pangeran Hidayatullah, Demang Lehman dan pasukan Tumenggung Antaluddin terkumpul di sekitar benteng ini pada bulan September 1860.
Pertempuran Gunung Madang 3 September 1860.
Persiapan benteng pertahanan di Gunung Madang ini diketahui oleh Belanda sehingga datanglah serangan pasukan Belanda secara mendadak pada 3 September 1860, sementara benteng belum selesai dibangun. Serdadu Belanda menyelusuri kampung Karang Jawa dan Ambarai dan langsung menuju Gunung Madang. Serdadu Belanda terkejut, ketika baru mendekati bukit itu serangan mendadak menyebabkan beberapa serdadu Belanda tewas. Sekali lagi serdadu Belanda mendekati bukit tetapi sebelum sampai serangan gencar menyambutnya, sehingga tentara Belanda mundur kembali ke benteng Amawang.
Pertempuran Gunung Madang 4 September 1860
Keesokan harinya tanggal 4 September 1860 pasukan infantri dari batalyon ke-13 mengadakan serangan kedua kalinya. Serdadu Belanda ini dilengkapi dengan mortir dan berpuluh-puluh orang perantaian untuk membawa perlengkapan perang dan dijadikannya umpan dalam pertempuran. Serdadu Belanda melemparkan 3 biji granat tetapi tidak berbunyi, dan disambut dengan tembakan dari dalam benteng Gunung Madang. Di dalam benteng Gunung Madang terdapat pula beberapa orang perantaian yang lari memihak pasukan Pangeran Hidayatullah ketika terjadi pertempuran di Pantai Hambawang yang terjadi sebelumnya. Ketika Letnan de Brauw dan Sersan de Vries menaiki kaki Gunung Madang, dia hanya diikuti serdadu bangsa Eropah sedangkan serdadu bangsa bumiputera membangkang tidak ikut bertempur Letnan de Brauw kena tembak di pahanya, dan 9 orang serdadu Eropah terkapar kena tembak dari arah dalam benteng. Setelah Letnan de Brauw kena tembak, serdadu Belanda mundur dan kembali ke benteng di Amawang. Serangan ketiga dilakukan beberapa hari kemudian setelah Belanda memperoleh bantuan dari Banjarmasin dan Amuntai.
Pertempuran Gunung Madang 13 September 1860.
Pada tanggal 13 September 1860 Belanda melakukan kembali serangannya terhadap benteng Gunung Madang. Serangan ini dipimpin oleh Kapten Koch dengan perlengkapan meriam dan mortir. Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin mempersiapkan menunggu serangan Belanda sedangkan Pangeran Hidayatullah mengatur strategi untuk menghadapinya. Pertempuran ini terjadi dalam jarak dekat, tetapi Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin dengan gagah berani menghadapinya. Ketika bunyi senapan dan meriam bergema, tiba-tiba roda meriamnya hancur kena tembakan. Kapten Koch mempertimbangkan untuk mundur kembali ke benteng Amawang. Kegagalan serangan Kapten Koch ini tersebar sampai ke Banjarmasin, sehingga G.M. Verspyck memerintahkan Mayor Schuak menyiapkan pasukan infantri dari batalyon ke 13 yang terdiri dari 91 opsir bangsa Eropah.
Pertempuran Gunung Madang 18 September 1860
Pada tanggal 18 September 1860 Mayor Schuak membawa pasukan dengan dibantu Kapten Koch menyerang Gunung Madang. Belanda membawa sebuah howitser, sebuah meriam berat dan mortir. Menjelang pukul 11.00 siang hari Demang Lehman memulai menyambut serdadu Belanda dengan tembakan. G.M. Verspyck yang berani mendekati benteng dengan pasukannya, kena tembak oleh anak buah Tumenggung Antaluddin, akhirnya mengundurkan diri membawa korban. Selanjutnya Kapten Koch memerintahkan memajukan meriam. Dengan jitu peluru mengenai serdadu pembawa meriam itu, dan jatuh terguling. Setelah pasukan meriam gagal, dilanjutkan dengan pasukan infantri mendapat giliran maju. Kapten Koch yang memimpin pasukan infantri maju, kena tembak di dadanya dan jatuh tersungkur. Dengan jatuhnya Kapten Koch tersebut serdadu Belanda menjadi bingung dan kehilangan komando. Mereka dengan bergegas menggotong mayat Koch dan berlari meninggalkan medan pertempuran, langsung mengundurkan diri kembali ke benteng Amawang. Setelah serangan keempat ini gagal, Belanda mempersiapkan kembali untuk penyerangan yang kelima Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin juga mempersiapkan siasat apa yang diambil untuk menghadapi serangan secara besar-besaran keluar dan tidak terpusat bertahan dalam benteng saja. Demang Lehman mendapat bantuan dari Kiai Cakra Wati pejuang wanita yang selalu menunggang kuda yang berasal dari daerah Gunung Pamaton (Distrik Riam Kanan).
Pertempuran Gunung Madang 22 September 1860
Serangan kelima terjadi pada tanggal 22 September 1860. Belanda mempersiapkan dengan teliti, belajar dari kegagalan empat kali penyerangannya. Belanda mempersiapkan mendirikan bivak-bivak dan perlindungan pasukan penembak meriam dengan sistem pengepungan benteng Gunung Madang. Pertempuran baru terjadi keesokan harinya dengan tembakan meriam dan lemparan granat. Pada pagi hari itu pertempuran tidak begitu seru, tetapi menjelang pukul 11.00 malam hari, tiba-tiba Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin mengadakan serangan besar-besaran dengan meriam dan senapan. Tembakan itu terus menerus bersahutan sampai menjelang subuh. Karena serangan yang gencar itu Belanda kehilangan komando apalagi malam hari yang gelap gulita. Pasukan Belanda kocar-kacir. Situasi yang tegang ini dipergunakan Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin beserta pasukannya keluar benteng dan menyebar keluar meninggalkan benteng, dan selanjutnya berpencar. Kiai Cakrawati meneruskan perjalanan ke Gunung Pamaton yang kemudian terlibat pula dalam pertempuran di Gunung Pamaton. Alangkah kecewanya Belanda ketika dengan hati-hati memasuki benteng untuk menghancurkan kekuatan Demang Lehman dan pasukannya ternyata benteng sudah kosong, hanya ditemukan satu orang mayat yang ditinggalkan.
Balai Amas dan Batu Beranak
Asal mula cerita Balai Amas (Balai Emas) dan Batu Beranak ini merupakan sebuah tempat berdirinya pohon Ulin yang sangat besar.
Dahulu kala, disebuah pohon Ulin yang sangat besar ini hidup seekor burung Garuda yang setiap waktu kerjaannya memakan anak bayi yang masih di dalam ayunan. Karena semakin lama semakin meresahkan, para penduduk kampung bersepakat untuk memikirkan cara bagaimana menyingkirkan burung Garuda tersebut. Pohon Ulin itu mempunyai 6 x 6 meter.
Foto balai disamping ini mencerminkan besarnya ukuran pohon kayu ulin tersebut
Berbagai macam peralatan dicobakan untuk menebang pohon ulin tersebut tetapi tidak satupun yang mampu menggores batang kayunya. Akhirnya ada seorang tetuha kampung setempat mencoba menumbangkan pohon tersebut dengan sebilah pisau. Dikorek perlahan-lahan akar pohon ulin tersebut dengan hanya menggunakan sebilah pisau kecil tidak disangka-sangka pohon Ulin raksasa inipun roboh bersama burung Garuda di atasnya. Konon, saking tinggi dan besarnya pohon Ulin ini pucuknya sampai roboh ke daerah Marabahan, Barito Kuala (± 50 km dari Banjarmasin, ± 200 km dari Kandangan), sehingga nama daerah itu disebut Marabahan yang berarti tempat rabah (roboh) pohon Ulin tadi.
Setelah keadaan aman, bekas tumbuh pohon Ulin tadi dibuat sebuah balai. Di balai inilah sejak dulu diadakan berbagai macam selamatan dan acara adat setiap tahunnya.
Di kampung ini juga ada dua buah tempat yang diyakini penduduk memiliki kesaktian, yaitu Batu Beranak.
batu beranak .
Tempat batu beranak ini asalnya tidak ada apa-apa, tiba-tiba bermunculan batu-batu memenuhi tempat tersebut sehingga oleh penduduk setempat diberi gelar Batu Beranak. Konon, ukuran batu yang ada disini bisa tumbuh berkembang sampai akhirnya melahirkan batu kecil di sekelilingnya, begitu seterusnya seperti siklus hidup manusia.
Pernah ada yang iseng-iseng mencoba mengukur batu tersebut, setiap hari Jumat batu yang sama diukur dan menurut keterangan para saksi batu yang diukur tersebut memang terus bertambah ukurannya. Pernah juga ada orang yang mengambil untuk dibawa pulang ternyata beberapa hari kemudian batunya hilang setelah diperiksa batu yang sama kembali ke tempatnya semula.
Demikian sekilas oleh-oleh cerita dari kampung dan memperkenalkan tempat yang diyakini masyarakat setempat sebagai tempat berkeramat sebagai bagian dari kekayaan budaya Banjar.
Bagi yang penasaran, silakan untuk mengunjungi dua tempat tersebut. Pisau yang digunakan untuk merobohkan pohon Ulin tadi masih disimpan secara turun temurun oleh penduduk kampung, bila berkunjung ke sana bisa mencari informasi lebih lanjut. Sumber urangbanua.com

Lihat juga :

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...