Sumber : banuahujungtanah.wordpress.com
Sebagai
telah dikemukakan, sesudah bulan Muharram, kegiatan perlawanan melawan
dan menggempur Belanda sangat meningkat. Dari selatan ke utara
membentang nyala api pertempuran-pertempuran;
a. Di Tanah Laut, perlawanan terutama untuk menyerang Benteng Batu Tongko di bawah pimpinan Haji Buyasin dengan kawan-kawan.
b. Di Martapura di bawah pimpinan Pangeran Muda dan kawan-kawan
c. Di Pengaron di bawah pimpinan Haji Sambas
d. Di Benua Amandit di bawah Demang Leman
e. Di Benua Alai di bawah Hidayat
f. Di Balangan di bawah Jalil
g. Di Tabalong di bawah Antasari.
Baik
Hidayat, maupun Antasari dan Demang Leman, selalu menjelajah seluruh
daerah pertempuran, kadang bersama-sama, kadang berpisah-pisah. Hidayat
dan Demang Leman meminta kepada Temenggung Antaluddin supaya meminta
memimpin mendirikan benteng pertahanan di gunung Madang. Letak benteng
ini sangat strategis di sebuah bukit yang tingginya k.l. 50 meter. Belum
lagi benteng ini selesai seluruhnya, rupanya pihak Belanda telah
mencium bau.
Pada
tanggal 3 September 1860 telah datang patroli Belanda dari Amawang
melalui kampung Karang Jawa
dan Ambarai menuju kaki gunung (bukit)
Madang. Segera pihak Belanda melihat benteng yang terdapat di puncak
bukit itu. Betapakah terkejutnya, baru saja mereka berada di kaki bukit
itu, mereka telah disambut dengan tembakan bedil, dan 4 serdadu bangsa
Belanda kena tembak jatuh tergelimpang. Pihak Belanda mencoba mendaki
bukit itu, tetapi mereka dapat dipukul mundur, pasukan Belanda yang
banyaknya k.l. 30 orang terpaksa kembali ke Amawang membawa
korban-korban.
Keesokan
harinya datang lagi pasukan infanteri Belanda dari batalyon 13 dengan
membawa senjata mortir. Mereka membawa pula beberapa puluh perantaian
(kettinggangers) dengan maksud menghancurkan dan meratakan benteng itu
seluruhnya. Ketika pasukan infanteri Belanda sampai di kaki Gunung
Madang, mereka telah disambut dengan tembakan dari dalam benteng.
Tentara Belanda melemparkan 3 buah granat, tetapi ternyata bisu, tidak
meletus. Di dalam benteng ini juga beberapa orang suku Bugis dan
beberapa orang perantaian yang melarikan diri kepada pasukan Temenggung
Antaluddin dan Demang Leman.
Betapa
terkejutnya pemimpin pasukan Belanda Letnan De Brauw dan sersan De
Vries, ketika dari benteng itu meneriaki namanya De Brauw dan De Vries.
Dan terkejutnya lebih besar lagi ketika ia menaiki Bukit Madang untuk
menyerbu benteng itu, ia hanya diikuti oleh anggota-anggota pasukannya
yang berbangsa Eropa, sedang anak buahnya Inlander (suku Bumiputera)
membangkang tidak ikut serta. Letnan De Brauw kena tembak di pahanya dan
9 orang tentara Belanda bangsa Eropa lainnya jatuh bergelimpangan.
Walaupun bala bantuan dari Amawang datang lagi bertambah, tetapi mereka
tidak berani lagi melakukan penyerbuan menaiki gunung itu lagi pada hari
itu.
Setelah pertempuran pada tanggal 3 dan 4 September itu, Belanda tidak berani lagi mendaki Gunung Madang. Kapten Koch menunggu datangnya bala bantuan dari Banjarmasin dan Amuntai. Barulah setelah terkumpul beberapa ratus tentaranya, mereka datang lagi pada tgl 13 September 1860 menyerbu Gunung Madang. Tentaranya yg beratus2 orang banyaknya itu membawa pula meriam dan mortir. Penembakan dengan meriam dan mortir dilakukan dari jarak 60 meter. Penyerangan kali ini di bawah pimpinan Kapten Koch dan ia memerintahkan menyerbu dari Utara dan Selatan. Penyerbuan ini mendapat perlawanan yang hebat dari anak buah Antaluddin dan bekas tentara Belanda suku Bugis, dan setelah roda meriamnya juga hancur, maka kapten koch memerintahkan tentaranya mundur dan kemudian kembali ke Amawang dan ini adalah kali ketiganya kegagalan dari pihak Belanda menggempur benteng Madang.
Setelah pertempuran pada tanggal 3 dan 4 September itu, Belanda tidak berani lagi mendaki Gunung Madang. Kapten Koch menunggu datangnya bala bantuan dari Banjarmasin dan Amuntai. Barulah setelah terkumpul beberapa ratus tentaranya, mereka datang lagi pada tgl 13 September 1860 menyerbu Gunung Madang. Tentaranya yg beratus2 orang banyaknya itu membawa pula meriam dan mortir. Penembakan dengan meriam dan mortir dilakukan dari jarak 60 meter. Penyerangan kali ini di bawah pimpinan Kapten Koch dan ia memerintahkan menyerbu dari Utara dan Selatan. Penyerbuan ini mendapat perlawanan yang hebat dari anak buah Antaluddin dan bekas tentara Belanda suku Bugis, dan setelah roda meriamnya juga hancur, maka kapten koch memerintahkan tentaranya mundur dan kemudian kembali ke Amawang dan ini adalah kali ketiganya kegagalan dari pihak Belanda menggempur benteng Madang.
Kegagalan
penyerbuan ini membesarkan semangat perlawanan dari pihak Rakyat
Banjar. Namun pihak Hidayat mengetahui benar, bahwa pihak Belanda tentu
akan melakukan lagi serangan besar-besaran terhadap benteng Gunung
Madang ini. Maka oleh sebab itu, dilakukan pula persiapan-persiapan
strategis untuk menghadapi serangan itu.
Berita
kegagalan-kegagalan penggempuran berulang-ulang itu telah sampai di
Banjarmasin. Mayor Verspyck dengan segera mengirimkan tambahan pasukan
infanteri dari batalyon 13 di bawah pimpinan Mayor Schuak. Mendengar
tentara Belanda yang berbangsa Indonesia ingkar untuk bertempur, maka
hal ini menimbulkan murkanya, dan mereka itu diajukan kedepan pengadilan
perang. Demikianlah anggota tentara di bawah Schuak itu hampir
seluruhnya terdiri dari orang Eropa. Memang pada ketika itu telah lebih
dari 1000 orang diturunkan bertempur di daerah Banjar, di antaranya 91
orang opsir. Pasukan Schuak dikirim dari Banjarmasin menuju Gunung
Madang via Amawang datang dengan kapal.
Demikianlah
pada tanggal 18 September 1860, untuk keempat kalinya, kelihatan lagi
datang pasukan tentara Belanda. Pemimpin tentara Belanda di Amawang
Kapten Koch ikut didalam penyerangan di benteng Gunung Madang pada hari
itu yang ternyata hari nahasnya. Demang Leman dan Antaluddin dengan
gagah berani memimpin pertahanan Gunung Madang. Belanda membawa sebuah
houwitser, sebuah meriam berat dan mortir. Belanda menyerang dari jarak
120 meter dengan memuntahkan peluru-peluru meriam. Tentaranya 50 orang
diperintahkan menyerbu dari sebelah kanan dan sekian itu pula dari kiri.
Dari depan dan belakang meriam telah siap 100 orang untuk bertempur
berhadap-hadapan, dan selain dari pada itu tersedia lagi tentara
cadangan. Menjelang jam 11 siang, anak buah Demang Leman, dengan gigih
mulai membidik tentara2 Belanda yang datang itu.
Letnan
Verspyck yang berani mencoba mendekati benteng itu dengan anak buahnya
dari sebelah kanan, terguling kena tembak oleh anak buah Temenggung
Antaluddin. Setelah pasukan dari samping gagal, dan terpaksa kembali
keinduk pasukannya, kapten Koch memerintahkan memajukan barisan
meriamnya. Dengan jitu sebuah peluru dari benteng yang ditembakkan Suku
Bugis yang ada dibenteng itu mengenai penembak meriam itu, dan ia jatuh
tersungkur. Kapten Koch memerintahkan barisan artileri menembaki benteng
itu dan ia sendiri menampilkan diri untuk menyaksikan hasil penembakan
meriam terhadap benteng itu. Dan pada kesempatan ini pulalah melayang
sebuah peluru dari benteng itu yang menembus dada Kapten Koch, pemimpin
bala tentara Belanda didaerah Amandit, dan ia tewas pada ketika itu
juga. Kedengaran pada ketika itu sorak-sorai dari dalam benteng.
Setelah
tewas kapten Koch, pimpinan tentara Belanda menjadi gugup, kocar-kacir
dan kemudian mengundurkan diri kembali ke Amawang, dengan sedih
menggotong korban-korban.
Beberapa
hari setelah kematian kapten Koch itu, benteng Gunung Madang tidak
mendapat gangguan dari pihak Belanda. Kesempatan ini dipergunakan untuk
mempersiapkan menyambut penggempuran yang ke lima ini. Demang Leman
mendapat kabar dari penakawannya, bahwa Amawang telah mendapat lagi bala
bantuan dari darat dan juga ada yang datang dengan kapal. Untuk
menghadapi serangan hebat itu, Demang Leman dan Temenggung Antaluddin
bermusyawarah dengan pemimpin-pemimpin anak buahnya. Pada ketika itu
diambil keputusan mengambil siasat akan mengadakan pukulan hebat
terakhir dan kemudian sebagian demi sebagian isi benteng akan keluar
meninggalkan benteng.
Benarlah
pada tanggal 22 September 1860, datanglah kelompok-kelompok pasukan
tentara Belanda bergelombang-gelombang menuju ke arah benteng Madang.
Kali ini mereka tidak terus mengadakan penyerbuan tapi mereka lebih dulu
mendirikan bevak-bevak (kemah-kemah) dan dijaga dengan ketat. Tampak
betul pihak Belanda bersiap untuk mengepung benteng gunung Madang itu
dengan perhitungan jangka panjang.
Sebaliknya
baru saja pasukan yang dipimpin Schuak itu datang, mereka telah
disambut dengan tembakan-tembakan dari benteng. Pihak Belanda sendiri
rupanya pada hari pertama itu hanya ingin menitikberatkan di dalam
persiapan menyusun meriam-meriam dan mortirnya. Barulah pada keesokan
harinya mereka mulai menembakkan meriam-meriamnya memuntahkan tidak
kurang dari 50 buah peluru dan melemparkan tidak kurang dari 30 granat .
Yang mengherankan Belanda adalah sebagian daripada granat itu tidak
meledak. Pada hari itu tembak menembak sangat gemuruh. Tampak betapa
banyaknya tentara Belanda yang jatuh bergelimpangan, di antaranya ada
pula opsir-opsirnya. Pihak Belanda mencoba memperkecil lingkarannya
mengepung benteng itu menjelang malam hari.
Tetapi
betapa terkejutnya mereka, ketika di sekitar jam 11 malam, pasukan
Demang Leman dan Antaluddin tiba-tiba mengadakan serangan besar-besaran
dengan menggunakan lila dan senapan. Tembakan yang terus menerus dengan
gencarnya ini memuncak di sekitar jam 3 subuh dengan serangan-serangan
serempak. Pasukan Belanda saat itu menjadi kucar-kacir dan mundur.
Kesempatan inilah dipergunakan Demang Leman dan Temenggung Antaluddin
meninggalkan benteng itu, sedang untuk mengelabui pihak Belanda, dari
benteng itu terus menerus dilakukan penembakan sampai jam setengah lima
subuh.
Dan
betapa kecele (kecewa) Belanda ketika mereka dengan merangkak sampai di
atas benteng jam 5 subuh, benteng itu telah kosong, hanya ada tinggal
bangkai seorang prajurit. Belanda sangat kecewa, karena untuk merebut
benteng itu banyak korban di pihaknya termasuk beberapa opsir, ya bahkan
seorang dari padanya adalah pemimpin bala tentara Belanda daerah
Amandit. Sedang benteng ini barulah dapat direbutnya setelah empat kali
kekalahan memalukan, dengan banyak kerugian materil, moril personil.
Pasukan
Demang Leman dan Temenggung Antaluddin pada malam itu dengan cerdik
dapat memperdaya kepungan Belanda dan seperti direncanakan kemudian
bergabung dengan kekuatan pasukan Banjar yang berada di sebelah utara
antaranya Batu Mandi. Di antaranya ada pula pasukan-pasukan kecil yang
sengaja berpisah dari induk pasukan, masuk menyeludup ke daerah-daerah
yang telah diduduki Belanda dan selanjutnya di daerah itu kemudian
mengadakan serangan-serangan.
Rombongan
yang dipimpin oleh Kiai Cakra Wati berangkat menuju Pamaton. Kiai Cakra
Wati adalah pemimpin wanita yang ikut bertempur di mana-mana dengan
berpakaian laki-laki dan sangat tangkas berpacu kuda. Biasanya ia diapit
oleh beberapa penakawan wanita pula. Salah satu pasukan yang sengaja
memisahkan diri di bawah pimpinan Lurah Mira telah menggempur kampung
yang kepalanya berpihak kepada Belanda di dalam pertempuran di Gunung
Madang. Setelah berhasil melakukan tugas mengadakan pukulan hebat kepada
lawan, Lurah Mira dan kawan-kawannya jatuh sebagai Pahlawan di dalam
suatu pertempuran.
Sumber Tulisan >>BB04- Pangiran Hidayatullah http://www.facebook.com/photo.php?pid=4508385&id=207121513050 yang menulis kembali dari buku PERANG BANJAR karangan H.Gusti Mayur S.H. hal 68
Klik di sini
Sumber Tulisan >>BB04- Pangiran Hidayatullah http://www.facebook.com/photo.php?pid=4508385&id=207121513050 yang menulis kembali dari buku PERANG BANJAR karangan H.Gusti Mayur S.H. hal 68
Klik di sini